Secara awam worldview
atau pandangan hidup sering diartikan filsafat hidup atau prinsip
hidup. Setiap kepercayaan, bangsa, kebudayaan atau peradaban dan bahkan
setiap orang mempunyai worldview masing-masing. Maka dari itu jika worldview
diasosiasikan kepada sesuatu kebudayaan maka spektrum maknanya dan juga
termanya akan mengikuti kebudayaan tersebut. Esensi perbedaannya
terletak pada faktor-faktor dominan dalam pandangan hidup masing-masing
yang boleh jadi berasal dari kebudayaan, filsafat, agama, kepercayaan,
tata nilai sosial atau lainnya. Faktor-faktor itulah yang menentukan
cara pandang dan sikap manusia yang bersangkutan terhadap apa yang
terdapat dalam alam semesta, dan juga luas atau sempitnya spektrum
maknanya. Ada yang hanya terbatas pada kesini-kinian, ada yang terbatas
pada dunia fisik, ada pula yang menjangkau dunia metafisika atau alam
diluar kehidupan dunia.
Terma yang umum digunakan untuk memaknai pandangan hidup adalah worldview (Inggeris), weltanschauung atau weltansicht (Jerman), terkadang juga disebut paradigma.[3] Dalam pemikiran Islam terma yang digunakan bermacam-macam seperti yaitu al-taÎawwur al-IslÉmÊ (Sayyid Qutb) al-Mabda’ al-IslÉmÊ (Shaykh Atif al-Zayn), IslÉmÊ NaÐariyat (al-Maududi), dan juga ru’yat al-Islam lil wujËd (Syed Mohammad Naquib al-Attas), terkadang dipakai juga terma naÐariyyat al-IslÉm li al-kawn. Untuk memudahkan artikulasi istilah ini, maka dalam diskursus ini, istilah worldview dipakai
sebagai kata pinjaman, namun ketika ia diberi kata sifat Islam maka
kata itu telah mengalami perubahan definisinya.[4] Untuk memahami lebih
jauh makna worldview akan dipaparkan definisi-definisi worldview dari pakar-pakar berbagai bidang.
Ninian Smart, pakar kajian perbandingan agama, memberi makna worldview dalam konteks perubahan sosial dan moral. Worldview
adalah “kepercayaan, perasaan dan apa-apa yang terdapat dalam pikiran
orang yang befungsi sebagai motor bagi keberlangsungan dan perubahan
sosial dan moral.”[5] Secara filosofis Thomas F Wall, memaknai worldview sebagai
“sistim kepercayaan asas yang integral tentang hakekat diri kita,
realitas, dan tentang makna eksistensi”.[6] Dalam bidang yang sama
Alparslan Acikgence memaknai worldview sebagai asas bagi setiap
perilaku manusia, termasuk aktifitas-aktifitas ilmiyah dan teknologi.
Setiap aktifitas manusia akhirnya dapat dilacak pada pandangan hidupnya,
artinya aktifitas manusia dapat direduksi kedalam pandangan hidup
itu.[7] Ada tiga poin penting dari ketiga definisi diatas, yaitu bahwa worldview adalah motor bagi perubahan sosial, asas bagi pemahaman realitas dan asas bagi aktifitas ilmiah. Dalam konteks sains, hakekat worldview dapat dikaitkan dengan konsep “paradigma” Thomas S Kuhn[8]. Istilah Kuhn “perubahan paradigma” (paradigm shift) sebenarnya dapat dianggap sebagai weltanschauung Revolution. Sebab, menurut Edwin Hung paradigma mengandung konsep nilai, standar-standar dan metodologi-metodologi, yang merupakan worldview dan framework konseptual yang diperlukan untuk kajian sains.[9]
Namun dari ketiga definisi diatas setidaknya kita dapat memahami bahwa worldview adalah tolok ukur untuk membedakan antara suatu peradaban dengan yang lain. Bahkan dari dua definisi terakhir menunjukkan bahwa worldview melibatkan
aktifitas epistemologis manusia, sebab ia merupakan faktor penting
dalam aktifitis penalaran manusia. Lebih jauh tentang hakekat worldview dan sejalan dengan kajian kita saat ini berikut akan dipaparkan definisi worldview menurut para pemikir Muslim.
Pengertian worldview Islam
Dalam tradisi Islam klasik terma khusus untuk pengertian worldview belum
ada, meski tidak berarti bahwa para ulama tidak memiliki asas yang
sistemik untuk memahami realitas. Para ulama abad 20 menggunakan terma
khusus untuk pengertian worldview ini, meskipun berbeda antara satu dengan yang lain. Maulana al-Mawdudi mengistilahkannya dengan Islami nazariat (Islamic Vision), Sayyid Qutb menggunakan istilah al-TaÎawwur al-IslamÊ (Islamic Vision), Mohammad AÏif al-Zayn menyebutnya al-Mabda’ al-IslÉmÊ (Islamic Principle), Prof. Syed Naquib al-Attas menamakannya Ru’yatul Islam lil wujËd (Islamic Worldview).
Meskipun istilah yang dipakai berbeda-beda pada umumnya para ulama
tersebut sepakat bahwa Islam mempunyai cara pandangnya sendiri terhadap
segala sesuatu. Penggunaan kata sifat Islam menunjukkan bahwa istilah
ini sejatinya umum dan netral. Artinya agama dan peradaban lain juga
mempunyai Worldview, Vision atau Mabda’, sehingga al-Mabda’ juga dapat dipakai untuk cara pandang komunis al-Mabda’ al-Shuyu’i, Western worldview, Christian worldview, Hindu worldview
dll. Disini kata sifat Islam, Barat, Kristen, Hindu dsb., digunakan
untuk pembeda. Maka dari itu ketika kata sifat Islam diletakkan didepan
kata worldview, maka makna etimologis dan terminologis menjadi berubah. Penjelasan dari istilah berikut ini akan menunjukkan hal itu:
Istilah Islami Nazariyat (Islamic Vision) bagi al-Mauwdudi berarti “pandangan hidup yang dimulai dari konsep keesaan Tuhan (shahadah)
yang berimplikasi pada keseluruhan kegiatan kehidupan manusia di dunia.
Sebab shahadah adalah pernyataan moral yang mendorong manusia untuk
melaksanakannya dalam kehidupannya secara menyeluruh”.[10] Worldview dalam istilah Shaykh Atif al-Zayn adalah al-Mabda’ al-IslÉmÊ yang lebih cenderung merupakan kesatuan iman dan akal dan karena itu ia mengartikan mabda’ sebagai aqidah fikriyyah yaitu
kepercayaan yang berdasarkan pada akal.[11] Sebab baginya iman
didahului dengan akal. Sayyid Qutb memahami dari perspektif teologis dan
juga metafisis mengartikannya dengan al-tasawwur al-Islami,
yang berarti sebagai “akumulasi dari keyakinan asasi yang terbentuk
dalam pikiran dan hati setiap Muslim, yang memberi gambaran khusus
tentang wujud dan apa-apa yang terdapat dibalik itu.”[12] S.M.Naquib al-Attas mengartikan worldview Islam
sebagai pandangan Islam tentang realitas dan kebenaran yang nampak oleh
mata hati kita dan yang menjelaskan hakekat wujud; oleh karena apa yang
dipancarkan Islam adalah wujud yang total maka worldview Islam berarti pandangan Islam tentang wujud (ru’yat al-Islam lil-wujud).[13] Tidak seperti yang lain disini al-Attas meletakkan Islam sebagai subyek dan realitas atau wujËd
dalam pengertian yang luas sebagai obyek. Namun poin yang ditangkap
dari definisi keempat tokoh diatas adalah bahwa pandangan hidup Islam
adalah pandangan Islam tentang realitas dan kebenaran yang menjelaskan
tentang hakekat wujud yang berakumulasi dalam akal pikiran dan memancar
dalam keseluruhan kegiatan kehidupan umat Islam di dunia.
Pandangan-pandangan
diatas telah cukup baik menggambarkan karakter Islam sebagai suatu
pandangan hidup yang membedakannya dengan pandangan hidup lain. Namun,
kajian lebih lanjut terhadap pemikiran dibalik definisi para ulama
tersebut kita akan menunjukkan orientasi yang berbeda. Al-Maududi lebih
mengarahkan kepada kekuasaan politik. Shaykh Atif al-Zayn dan Sayyid
Qutb lebih cenderung mamahaminya sebagai seperangkat doktrin kepercayaan
yang rasional yang implikasnya adalah ideologi, meski Qutb menambahkan
aspek metafisis. Naquib al-Attas lebih cenderung kepada makna metafisis
dan epistemologis. Untuk lebih jelas tentang hakekat pandangan hidup
berikut ini diungkapkan pandangan mereka tentang elemen dan karakter
worldview.
Elemen dan karakteristik worldview
Sebagai sebuah sistim yang secara definitif begitu jelas, worldview atau
pandangan hidup memiliki karakteristik tersendiri yang ditentukan oleh
beberapa elemen yang menjadi asas atau tiang penyokongnya. Antara satu
pandangan hidup dengan pandangan hidup lain berbeda karena berbeda
elemennya dan karakteristiknya. Diantara karakteristik yang membedakan
antara makna pandangan hidup Islam dan Barat adalah spektrum maknanya.
Makna worldview dalam studi keagamaan modern (modern study of religion), misalnya, terbatas kepada agama dan ideologi, termasuk ideologi sekuler,[14] namun dalam Islam makna worldview menjangkau makna pandangan Islam terhadap hakikat dan kebenaran tentang alam semesta (ru’yat al-Islam li al-wujud).[15]
Ia tidak terbatas pandangan akal manusia terhadap dunia fisik atau
keterlibatan manusia didalamnya dari segi historis, sosial, politik dan
kultural…tapi mencakup aspek al-dunyÉ dan al-Ékhirah, dimana aspek al-dunyÉ
harus terkait secara erat dan mendalam dengan aspek akherat, sedangkan
aspek akherat harus diletakkan sebagai aspek final”.[16] Demikian pula
perbedaan definisi tentang worldview juga mempengaruhi penentuan elemen didalamnya dan karakteristiknya.
Meskipun
demikian dalam menentukan elemen yang menjadi asas bagi suatu
worldview, para cendekiawan mempunyai beberapa kesamaan. Bagi Thomas
Wall elemen pandangan hidup ditentukan oleh pemahaman individu terhadap
enam bidang pembahasan yaitu Tuhan, Ilmu, realitas, Diri, etika,
masyarakat.[17] Ninian Smart juga menetapkan enam elemen worldview yang
ia sebut sebagai dimensi agama: doktrin, mitologi, etika, ritus,
pengalaman dan kemasyarakatan.[18] Sementara itu Naquib Al-Attas
menetapkan bahwa elemen asas bagi worldview Islam adalah konsep tentang
hakekat Tuhan, tentang Wahyu (al-Qur’an), tentang penciptaan, tentang
hakekat kejiwaan manusia, tentang ilmu, tentang agama, tentang
kebebasan, tentang nilai dan kebajikan, tentang kebahagiaan.[19] Dari
ketiga pemikir tersebut diatas sekurangnya kita bisa mengidentifikasi
bahwa mereka hampir sepakat bahwa 5 elemen penting worldview adalah
konsep Tuhan, konsep realitas, konsep ilmu, konsep etika atau nilai dan
kebajikan, dan konsep tentang diri manusia. Namun spektrum makna
worldview Wall dan Smart menjadi terbatas ketika keduanya tidak
menjadikan konsep wahyu, penciptaan, agama dan kebahagiaan sebagai
elemen wordview seperti konsep al-Attas. Disini al-Attas bahkan
menekankan bahwa pandangan hidup berperan dalam cara menafsirkan apa
makna kebenaran (truth) dan realitas (reality) dan
juga dalam menentukan apakah sesuatu itu benar dan riel. Semuanya itu
tergantung kepada sistim metafisika masing-masing yang terbentuk oleh
worldview.[20] Disini sekali lagi kita menangkap bahwa pandangan hidup
lebih banyak berkaitan dengan epistemologi daripada dengan ideologi.
Lebih teknis lagi Prof. Alparslan menjelaskan bahwa worldview Islam
adalah “visi tentang realitas dan kebenaran, berupa kesatuan pemikiran
yang arsitektonik, yang berperan sebagai asas yang tidak nampak (non-observable)
bagi semua perilaku manusia, termasuk aktifitas ilmiah dan
teknologi”.[21] Untuk lebih jelas lagi al-Attas bahkan membedakan
secara diametris worldview Islam dan Barat [22] seperti yang ditabulasikan berikut ini.
|
WORLDVIEW ISLAM
|
WORLDVIEW BARAT
|
1
|
Prinsip : tawhidi
|
Prinsip : dichotomic
|
2
|
Asas :
wahyu, hadis, akal, pengalaman dan intuisi
|
Asas :
rasio, spekulasi, filosofis
|
3
|
Sifat :
otentitas dan finalitas
|
Sifat :
rasionalitas, terbuka dan selalu berubah
|
4
|
Makna realitas :
berdasarkan kajian metafisis
|
Makna realitas :
pandangan social cultural empiris
|
5
|
Objek kajian :
visible
dan invisible
|
Objek kajian :
Tata nilai masyarakat
|
Proses munculnya worldview dan ilmu pengetahuan
Sebenarnya cara bagaimana seorang individu berproses memiliki pandangan hidup (worldview) cukup beragam dan dengan keragaman proses tersebut berbeda-beda pula bentuk dan sifat worldview yang dihasilkannya. Proses pembentukan worldview hampir tidak beda dengan proses pencarian pengetahuan. Worldview terbentuk dari adanya akumulasi pengetahuan dalam fikiran seseorang, baik a priori maupun a posteriori,[23]
konsep-konsep serta sikap mental yang dikembangkan oleh seseorang
sepanjang hidupnya. Bagi Wall akumuluasi pengetahuan yang ia sebut epistemological beliefs itu sangat berpengaruh terhadap pembentukan worldview kita, namun yang sangat menentukan terbentuknya worldview baginya adalah metaphysical belief.[24] Bagi Alparslan worldview lahir dari adanya konsep-konsep yang mengkristal menjadi kerangka fikir (mental framework).[25]
Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: ilmu pengetahuan yang
diperoleh seseorang itu terdiri dari ide-ide, kepercayaan, aspirasi dan
lain-lain yang kesemuanya membentuk suatu totalitas konsep yang saling
berkaitan dan terorganisasikan dalam suatu jaringan (network) dalam pikiran kita. Jaringan ini membentuk struktur berfikir yang koheren dan dapat disebut suatu keseluruhan yang saling berhubungan “achitectonic whole”.
Keseluruhan konsep yang saling berhubungan inilah yang membentuk
pandangan hidup seseorang.[26] Dalam kasus Islam, seperti yang akan
dijelaskan nanti, pengetahuan yang membentuk totalitas konsep itu
berasal dari ajaran Islam.
Secara sosiologis prasyarat terbentuknya worldview bagi suatu bangsa atau masyarakat adalah kondisi berfikir (mental environment),
meskipun hal ini belum menjamin timbulnya tradisi intelektual dan
penyebaran ilmu di masyarakat. Untuk itu bangsa atau masyarakat itu
memerlukan apa yang disebut scientific conceptual scheme (kerangka konsep keilmuan),
yaitu konsep-konsep keilmuan yang dikembangkan oleh masyarakat itu
secara ilmiyah. Melihat kedua proses pembentukan dan pengembangan worldview yang seperti ini, maka worldview dapat dibagi menjadi natural worldview dan transparent worldview. Yang pertama terbentuk secara alami sedangkan yang kedua terbentuk oleh suatu kesadaran berfikir saja.[27] Dalam natural worldview disseminasi ilmu pengetahuan biasanya terjadi dengan cara-cara ilmiah dalam kerangka konsep keilmuan (scientific conceptual scheme), yaitu suatu mekanisme canggih yang mampu melahirkan pengetahuan ilmiah dan melahirkan pandangan hidup ilmiah (scientific worldview).[28] Berbeda dari natural worldview, transparent worldview lahir tidak melalui kerangka konsep keilmuan yang terbentuk dalam masyarakat, meskipun substansinya tetap bersifat ilmiah.
Transparent worldview
lebih sesuai untuk sebutan bagi pandangan hidup Islam. Sebab pandangan
hidup Islam tidak bermula dari adanya suatu masyarakat ilmiah yang
mempunyai mekanisme yang canggih bagi menghasilkan pengetahuan ilmiah.
Pandangan hidup Islam dicanangkan oleh Nabi di Makkah melalui
penyampaian wahyu Allah dengan cara-cara yang khas. Setiap kali Nabi
menerima wahyu yang berupa ayat-ayat al-Qur’an, beliau menjelaskan dan
menyebarkannya kemasyarakat. Cara-cara seperti ini tidak sama dengan
cara-cara yang ada pada scientific worldview, dan oleh sebab itu Prof.Alparslan menamakan worldview Islam sebaai 'quasi-scientific worldview'.[29]
Proses
pembentukan pandangan hidup melalui penyebaran ilmu pengetahuan diatas
akan lebih jelas lagi jika kita lihat dari proses pembentukan
elemen-elemen pokok yang merupakan bagian dari struktur pandangan hidup
itu serta fungsi didalamnya. Seperti yang dijelaskan diatas bahwa
pandangan hidup dibentuk oleh jaringan berfikir (mental network) yang berupa keseluruhan yang saling berhubugan (architectonic whole).
Namun, ia tidak merepresentasikan suatu totalitas konsep dalam pikiran
kita. Ketika akal seseorang menerima pengetahuan terjadi proses seleksi
yang alami, dimana pengetahuan tertentu diterima dan pengetahuan yang
lain ditolak. Pengetahuan yang diterima oleh akal kita akan menjadi
bagian dari struktur worldview yang kita miliki. Struktur worldview hampir
serupa dengan elemen worldview dan disini terdapat sedikitnya lima
bagian penting yaitu struktur konsep: 1) tentang kehidupan, 2) tentang
dunia, 3) tentang manusia, 4) tentang nilai dan 5) tentang
pengetahuan.[30] Proses terbentuknya struktur worldview ini
bermula dari pemahaman tentang kehidupan, yang didalamnya termasuk
cara-cara manusia menjalani kegiatan kehidupan sehari-hari, sikap-sikap
individual dan sosialnya, dan sebagainya. Struktur konsep tentang dunia
adalah persepsi tentang dunia dimana manusia hidup. Struktur konsep
tentang ilmu pengetahuan adalah merupakan pengembangan dari struktur
dunia (dalam transparent worldview). Gabungan dari struktur
kehidupan, dunia dan pengetahuan ini melahirkan struktur nilai, dimana
konsep-konsep tentang moralitas berkembang. Setelah keempat struktur itu
terbentuk dalam pandangan hidup seseorang secara transparent, maka struktur tentang manusia akan terbentuk secara otomatis.
Meskipun
proses akumulasi kelima struktur diatas dalam pikiran seseorang tidak
selalu berurutan seperti yang disebut diatas, tapi yang perlu dicatat
bahwa kelima struktur itu pada akhirnya menjadi suatu kesatuan
konsepstual dan berfungsi tidak saja sebagai kerangka umum (general scheme)
dalam memahami segala sesuatu termasuk diri kita sendiri, tapi juga
mendominasi cara berfikir kita. Disini dalam konteks lahirnya ilmu
pengetahuan di masyarakat, struktur pengetahuan merupakan asas utama
dalam memahami segala sesuatu. Ini berarti bahwa teori atau konsep
apapun yang dihasilkan oleh seseorang dengan pandangan hidup tertentu
akan merupakan refleksi dari struktur-struktur diatas.
Teori ini
berlaku secara umum pada semua kebudayaan dan dapat menjadi landasan
yang valid dalam menggambarkan timbul dan berkembanganya pandangan hidup
manapun, termasuk pandangan hidup Islam. Berarti, kegiatan keilmuan
apapun baik dalam kebudayaan Barat, Timur maupun peradaban Islam dapat
ditelusur dari pandangan hidup masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar